Koreografer Seni yang Inklusi

Pertanyaan yang umum dilontarkan seseorang yang baru saja menyaksikan pementasan Nalitari adalah siapakah sang koreografer di balik tarian tersebut. Pertanyaan lanjutan juga umumnya mengarah pada koreografer: bagaimana ia ‘mengajari’ penari? Berapa lama latihan yang dibutuhkan? Apa kendala atau tantangannya? 

Melalui tulisan ini, Nalitari ingin mengajak Anda berkenalan dengan koreografer utama sekaligus salah satu arsitek kegiatan artistik Nalitari, Nurul Jamilah.

Nurul Jamilah memiliki minat dan bakat yang besar pada seni tari sejak duduk di bangku sekolah. Ia pun memantapkan langkahnya dengan menempuh kuliah di Jurusan Seni Tari di Universitas Negeri Yogyakarta. 

Namun, ia tidak langsung bergerak dalam seni tari yang inklusif, meski ia sudah mengajar tari di SLB Negeri Semarang sejak tahun 2007, dilanjutkan di SLB Negeri 1 Sleman sejak tahun 2010. Awalnya, ia tidak mengajarkan anak didiknya metode tari yang mampu mengakomodasi semua kebutuhan dan kondisi. Ia bahkan hanya mengajar tari pada kelompok tertentu, seperti anak dengan gangguan pendengaran atau anak dengan retardasi mental ringan. Anak-anak lainnya tidak pernah ia libatkan untuk menari karena dalam benaknya, ia berpikir hal itu tidaklah mungkin. 

Pengalaman yang menjadi titik balik bagi Nurul adalah saat ia mengikuti sebuah workshop tari oleh seorang penari dari Amerika Serikat. Di salah satu sesi, penari tersebut memperlihatkan tarian duetnya bersama seorang penari dengan cerebral palsy. Selama menari, ia hanya membuat gerakan dengan tangan dan kepala. Namun, tariannya sungguh artistik saat berpadu dengan sang penari profesional.  

Nurul pun melihat bahwa adanya keterbatasan gerak salah satu penari tidak menghalangi sebuah tarian sukses ditarikan. Justru, tarian itu menjadi lebih indah karena para penarinya memiliki karakter berbeda. Saat ada keberagaman dalam komposisi penari, tidak ada yang lebih menonjol di antara mereka dan justru, masing-masing ‘bersinar’ dengan caranya sendiri. Nurul Jamilah menitikkan air mata di hari itu dan pola pikirnya seketika berubah.

Kini, Nurul Jamilah senantiasa membuat tarian dengan keyakinan bahwa setiap perbedaan adalah karakter unik yang memperindah tarian. Baginya, tari tidak lagi melulu tentang gerak yang sama (rampak) yang ditarikan oleh penari yang sempurna (fisik).

Setiap koreografi yang inklusi memerlukan proses pengolahan kreativitas  mendalam agar dapat mengakomodasi semua orang tanpa mengabaikan setiap perbedaan karakter yang ada. Menjadi koreografer tari yang inklusi, ia meredam egoisme dalam diri dan selalu memperhatikan kemampuan orang-orang yang akan menari. Sebagai contoh, ia tidak memaksakan seseorang dengan kursi roda melompat atau memaksa seorang autis melakukan gerakan rampak. 

Terlibat dalam penciptaan karya seni yang inklusi memang bukan hal yang mudah. Meski demikian, nilai-nilai yang terkandung di dalamnya dapat diaplikasikan di berbagai aspek kehidupan lainnya. Dan semua itu tentunya membuat kita menjadi manusia yang lebih baik lagi.

nurul_nalitari.jpg
Nurul adalah seorang wanita, istri, dan ibu dari dua anak. Ia dilahirkan di Kebumen pada tahun 1980. Setelah lulus dari Universitas Negeri Yogyakarta, mengambil jurusan pendidikan tari, ia menjadi guru di Sekolah Khusus Sleman 1 di Yogyakarta. Dia menemukan bahwa ada batasan kuat dalam praktik tarian yang tidak memungkinkan orang-orang dari latar belakang berbeda untuk menari bersama. Pada 2013, ia terinspirasi untuk membangun organisasi tari yang merangkul semangat inklusivitas, bernama Nalitari. Dia aktif terlibat dalam Nalitari, bersama dengan tiga wanita pendiri lainnya, untuk mempromosikan tarian inklusif di tingkat regional, nasional, dan bahkan internasional. Nalitari sekarang berkembang untuk menjadi kiblat tari inklusi di Indonesia dan dunia dengan memberdayakan para anggotanya melalui program-program berkualitas tinggi serta kepemimpinan inklusif untuk menginspirasi perubahan sikap terhadap beragam orang.

 

Leave a comment