Oleh HARIS FIRDAUS | Kompas, 7 Juni 2015
Nalitari berasal dari kata “nali” dan “tari”. Nali dalam bahasa Jawa bermakna ‘mengikat’. Komunitas Nalitari di Yogyakarta mengikat orang dari beragam latar belakang tarian. Sebagian besar anggota bukan penari profesional. Ada pula orang berkebutuhan khusus, termasuk tunadaksa dan tunarungu.

Komunitas Nalitari tampil dalam pertunjukan tari All Bodies Speak! di Auditorium IFI-LIP, Sagan, Yogyakarta, Akhir Mei lalu. Pertunjukan tersebut untuk menyerukan pesan kesetaraan hak semua orang dalam berekspresi melalui tari.
Di panggung yang gelap, Arif Setyo Budi (28) duduk bersimpuh bersama penari lain. Begitu Arif berdiri, dan pentas benderang, penonton tahu dia ternyata hanya memiliki satu kaki. Kamis (28/5) malam, Arif tampil membawakan Breakdance tanpa Batas di Auditorium Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta.
Arif melakukan breakdance. Dia menundukkan badan dan menyentuhkan kepala ke lantai, lalu perlahan-lahan badan dan kakinya diangkat. Setelah gerakan berdiri dengan kepala atau headstand itu, Arif melakukan salto ke kanan dan kiri, ke depan dan belakang. Arif dengan satu kaki itu mampu menerobos keterbatasannya untuk menghasilkan gerakan-gerakan indah.
Tarian Arif merupakan satu dari empat repertoar dalam pertunjukan tari All Bodies Speak! yang ditampilkan malam itu oleh Komunitas Nalitari. Selain Breakdance tanpa Batas, tiga repertoar lainnya adalah Island of Doll, Bintang, dan Nalitari.
Berbeda dengan pertunjukan tari umumnya, sebagian besar penari dalam All Bodies Speak! bukanlah penari profesional. Sebagian dari mereka bahkan merupakan orang-orang berkebutuhan khusus atau difabel, termasuk Arif yang belajar breakdance sejak 2005.
“Pada 2007, saya mengalami kecelakaan kerja di pabrik sehingga kaki kanan saya terpotong. Sesudah masa pemulihan, saya kembali berlatih breakdancepada 2008 dan terus berlatih hingga sekarang, termasuk setelah bergabung dengan Nalitari,” kata Arif yang berasal dari Malang, Jawa Timur.
Inklusivitas tari
Nalitari adalah komunitas nirlaba di Yogyakarta yang bertujuan mempromosikan inklusivitas dan kesetaraan melalui dan dalam tarian. Pembentukan komunitas itu berawal dari penyelenggaraan pelatihan tari DanceAbility di Yogyakarta pada April 2013. “DanceAbility adalah metode tarian yang memberikan ruang dan kesempatan kepada semua orang untuk menari,” kata Koordinator Komunitas Nalitari, Tiara Brahmarani (29).
DanceAbility diciptakan pada 1987 oleh Alito Alessi, seorang penari Amerika Serikat yang memiliki pengalaman dalam dunia tari selama 30 tahun. Pada April 2013, Alessi datang ke Yogyakarta untuk memberikan pelatihan DanceAbility kepada sejumlah orang dari beragam latar belakang.
Pada Desember 2013, peserta workshop yang terdiri dari mahasiswa, guru, penari profesional, dan orang berkebutuhan khusus tersebut mendirikan Komunitas DanceAbility Indonesia yang merupakan cikal bakal Nalitari.

Ada empat prinsip utama dalam DanceAbility. Prinsip pertama adalah sensasi, yakni setiap penari dibebaskan melakukan gerak yang bisa memberikan sensasi kepada dirinya. Kedua, hubungan, yang bermakna seorang penari harus sadar mereka sedang berhubungan dengan penari lain saat menari. Ketiga adalah waktu. Penari harus menyadari bahwa setiap orang memiliki kecepatan yang berbeda dalam bergerak sehingga harus ada penyesuaian. Prinsip keempat adalah desain. Semua gerakan dalam DanceAbility harus bisa membangun desain yang indah dan bisa dinikmati orang lain.
Dengan prinsip-prinsip itu, kata Tiara, dalam DanceAbility tidak ada gerakan baku yang diajarkan secara ketat. Dalam DanceAbility, setiap orang dibebaskan menentukan gerakan apa yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Karena itu pula, pegiat DanceAbility biasanya mempraktikkan tarian yang penuh improvisasi.
Nalitari memiliki anggota sekitar 50 orang dengan usia dan latar belakang beragam. Keterlibatan beberapa orang berkebutuhan khusus kadang membuat Nalitari dianggap sebagai kelompok penari khusus difabel. Menurut Tiara, anggapan semacam itu salah karena Nalitari tak khusus mengembangkan tarian untuk kelompok difabel. Keterlibatan orang difabel merupakan upaya untuk mempromosikan kesetaraan dan mengikis sikap diskriminatif terhadap kelompok tertentu. Dalam pentas All Bodies Speak!, orang-orang berkebutuhan khusus itu memainkan peran yang cukup vital pada empat repertoar yang ditampilkan.
“Kami ingin mengikat orang dari beragam latar belakang melalui tarian,” kata Direktur Kreatif Nalitari Yoana Wilda Kristiawati (23).
Manfaat
Menari dengan metode DanceAbility memiliki banyak manfaat, antara lain menumbuhkan kepercayaan diri dan menjalin relasi yang lebih baik dengan orang lain. “Namun, manfaat DanceAbility pasti berbeda-beda untuk setiap orang. Bagi saya, menari membuat mengenali diri sendiri karena saat menari saya merasakan sensasi pada tubuh saya,” kata Tiara yang sedang menyelesaikan studi magister.
Anggota Komunitas Nalitari, Lusi Insiati (50), menuturkan, semua proses di komunitas tersebut berlangsung dengan hangat dan setara. “Enggak ada perlakuan yang berbeda untuk tunadaksa seperti saya. Dengan gabung di komunitas ini, saya mendapatkan banyak teman baik,” kata wanita yang memakai kursi roda tersebut.
Sejak berdiri pada 2013, Nalitari telah tampil di sejumlah acara, misalnya Festival Kesenian Yogyakarta, Pekan Budaya Tionghoa Yogyakarta, dan peringatan Hari Difabel Internasional. Sebelum All Bodies Speak!, komunitas tersebut juga pernah menggelar pertunjukan Beyond Body Borders di Rumah Budaya Tembi, Yogyakarta, 2014.
__________
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 7 Juni 2015, di halaman 32 dengan judul “Semua Orang Bisa menari di Nalitari”.